Sunday 20 November 2016

Kisah Kedua Aku, Kami dan Mereka "Anak Cicak"



Cerita “anak Cicak” ini tak jauh berbeda dari wak saleh” hanya berbeda versi dan ceritanya… lebih tepatnya beda topik saja, kalau “wak saleh” lebih ke kelompok anak- anak di Dusun Lemang, kalau “anak cicak” di awali dari beberapa tokoh orang – orang tua yang luar biasa menurut saya  dan rekan – rekan pengajar muda.. di harapkan membaca dengan khusuk ya.. ini cerita aslinya dan semoga menginspirasi para pembaca.

            Lagu  “anak cicak” ini berasal dari Desa Rantau lansat sendiri, di iringi oleh alat – alat music tradisional seperti gambus (kecapi) dan gendang yang dari bambu. Gambus (Kecapi) yang tak jauh persis dengan alat tradisional di Kalimantan menjadi icon bagi desa mereka sendiri, kalau gendangnya seperti alat tradisional di Papua tetapi ukurannya yang hanya satu ruas bambu besar. Pokok nya unik lah dan dengan suara merdu di mainkan dari tenaga ahli professional… (seperti melakukan adegan berbahaya saja…) heheheh, hanya dengan bakat serta jiwa seni tingkat tinggi bisa memainkannya, kenapa tidak pada alat–alat tradisional ini tidak terdapat kunci nada ataupun tangga nada, hanya kekuatan insting dan perasaan untuk bisa memainkan alat musi
k tradisional Rantau Lansat ini (dari 35 jumlah pengajar muda USM, hanya reza  yang bisa memainkan karena mempunyai bakat di bidang musik dan seni).

Sebenarnya lagu “anak cicak” tersebut bukan hanya sekedar lagu biasa tapi setiap bait, serta kata–kata penuh dengan kata nasehat dari adat Suku  Melayu Tua di sana dan juga menjadi petuah – petuah yang di sampaikan oleh para petua (adat) di Rantau Lansat melalui lagu, masih banyak lagu yang di ciptakan oleh tetua adat di sana, (tunggu saja buku selanjutnya, insyaallah sedang dalam proses) dan lagu ini juga menjadi hiburan jika ada seperti festival, pesta, dll.

            Para pemain dari alat–alat musik tradisional ini cukup banyak (maksudnya bukan seluruh masyarakat di Desa Rantau Lansat)  tetapi  rata–rata dari setiap Dusun ada saja orang–orang tua yang bisa memainkan seperti perwakilanlah karena tidak mudah untuk menggunakan (saya ingatkan lagi), sebut saja di dusun lemang ada pak tuo (tatong) atau nama asli beliau Bapak Syafarudin, kalau di dusun benganyauan ada bapak Suboh, dan ibu Maria,, tapi kita bahas pak Tuo dulu.. kalau untuk bapak Suboh dan ibu Maria ini tidak saya uraikan secara karena selama ini saya belum berjumpa secara langsung, padahal sudah beberapa kali ke Dusun Benganyauan dengan berjalan kaki ke sana (lumayan lah + 1 Jam dari Dusun Lemang). Langsung biasanya depan rumah beliau menjadi tempat istirahat kami. (belum rezeki saya untuk berjumpa karena beliau sering berada di ladang) .


Tokoh Pertama (Pendidikan)
Pak Tuo, panggilan Pak “Taktung” , Nama Asli Syafaruddin
Nama panggilan “Pak tuo” yang menjadi kebiasaan untuk beliau  oleh masyarakat Desa Rantau Lansat, berhubung beliau  juga sudah tua, jadi wajar saja di panggil mengingat umurnya, ada juga biasa di panggil pak “taktung”, kalau yang ini kami belum dapat apa makna yang tersirat dari panggilan tersebut (tapi, kalau di analisa seperti ritme alat tradisional seperti gendang, coba anda perhatian jika memukul alat kesenian ini dengan dua bunyi dasar “tak” “tung”). Tetapi pak tuo bagi kami dari pengajar muda Uin Suska Mengajar seorang pahlawan  walaupun sudah tua tetapi menjadi inspirasi bagi kami di UIN suska Mengajar jilid II, dengan hanya mengecam Sekolah Rakyat (SR) hanya 6 bulan  dan pernah di masukkan ke jeruji besi dengan fitnah, dikarenakan keterbelakangan pendidikan juga, dan setelah keluar dari fitnah ini  sehingga menjadi motivasi terbesar beliau, dan beberapa kisah – kisah yang beliau alami dulunya, Alhamdulillah.. sampai saat ini beliau bersama masyarakat setempat sudah bisa mendirikan 3 sanggar belajar (Dusun Datai, Sadan, nunusan), (dukungan dari PKHS dan TNBT) dan yang terakhir tahun 2014 ini akan di bangun pada Dusun benganyauan dan dari UIN suska mengajar juga membantu secara sebisanya dan menjadi impian bagi kita juga untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwasanya di Provinsi yang kaya ini masih banyak anak – anak yang mempunyai semangat tinggi untuk mendapatkan pendidikan, melihat dari 3 (tiga) sanggar yang telah di bangun berkat hasil swadaya masyarakat tetapi dengan seminimnya fasilitas, hanya berdinding kan papan dan beratapkan daun enau dan seng, tetapi semangat beliau untuk melunasi janji kemerdekaan serta dari perjalanan hidup yang  beliau alami, cita – cita beliau untuk membuat anak–anak Suku Melayu Tua dan Talang Mamak Batang Gansal ini bisa pintar dan pandai, terutama bisa membaca dan menulislah pokoknya, (beliau datang ke rumah – rumah warga di dusun sana dahulunya untuk mengajak membangun sekolah),  dan beliau juga yang bekerja dari PKHS (Program Konservasi Harimau Sumatra) yang kalau di hitung gaji mungkin sangat jauh berbanding dengan PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang ada di pekanbaru lah. (bukan maksud saya untuk meminta kepada Pemkab menaikkan gaji beliau. Tapi ini lah semangat beliau)


Bukan mudah untuk mengajak masyarakat selama ini yang hidup di tinggalkan untuk membangun sekolah (pendidikan), dari dahulu masyarakat di sana hidup dengan alam dan hutan yang ada, ajaran dari nenek moyang mereka dan peninggalan itu yang membuat mereka dahulunya menolak ajakan pak Tuo. Tapi itu tak menyurutkan semangat beliau untuk terus mengajak membangun sekolah, bayangkan dari tahun 2001 beliau berjalan kaki dan menyeberangi sungai untuk sampai di Dusun-dusun, butuh proses dan waktu yang cukup begitu dan  walaupun mengalami sedikit cacian dan amarah dari beberapa orang warga kepada beliau tapi, inilah sosok beliau yang saya salut., bisa meredam amarah orang (ntah ilmu apa yang beliau amalkan, sepertinya masih harus lama – lama di sana untuk belajar) hehehe

Gambar : “Pak Tuo” memberikan orasi pendidikan untuk membangun sekolah di Dusun Tanjung Lintang beberapa bulan lalu kepada warga dan anak - anak.
Sumber : Dok, UIN Suska Mengajar)

Sebelum kita menceritakan lebih lanjut tentang beliau, bisa di lihat dulu lebih jelas orangnya bagaimana ya… kalau yang sedikit membelakangi wajah beliau sehingga saya yakin para pembaca tidak bisa melihat wajah beliau !! hehehe (para pembaca jangan heran kenapa saya tulis seperti ini karena tanpa sadar para pembaca juga ikut membaca dari atas sampai selesai kisah ini, menandakan para pembaca mulai serius dengan buku ini) terima kasih .. hehehehe
Gambar : Wajah Keriput Pak “Tuo” atau pak Tatong
Nama Asli  : Syafaruddin
Sumber: (Dok, Uin Suska Mengajar)
            Bisa di lihat Senyum manis beliau, dengan mendorong sebuah senyuman saja bisa mendirikan 3 sanggar belajar . di bandingkan  dengan senyuman para pemuda–pemudi yang lebih manis ini seharusnya bisa mengalahkan semangat dan perjuangan beliau (para pembaca bisa bayangkan bagaimana raut wajah perjuangan beliau).

Sedikit membahas Sanggar  Belajar  atau yang lebih di kenal dengan Sekolah satu atap ini, misalnya di Dusun Sadan sudah meluluskan beberapa anak–anak di sana sehingga bisa mendapatkan ijazah Sekolah Dasar, dengan mengikuti Ujian Nasional (UN) di SD N 004 Rantau Lansat, Kecamatan Batang Gansal.

Gambar : Suasana belajar di Sanggar Belajar Sadan.
Sumber : Dok, Uin Suska Mengajar

Jadi kepada para pembaca yang budiman jangan menganggap sepele dengan santainya dengan sanggar belajar mereka, walaupun dengan sederhana seperti itu tapi “back to nature”. kerja keras beliau dan dukungan dari berbagai pihak dan LSM sampai hari ini anak – anak yang belajar di sanggar tersebut bisa menyelesaikan sampai SD (sekolah dasar) bukan hanya belajar dari kelas 1–4 saja (keingat di salah satu media televisi nasional yang menanyangkan “Indonesia Eps Suku Talang Mamak”, bisa di liat dahh pada you tube kalau tak percaya juga. Hehe…
           
Salah satu rilisan yang sampai sedikit menghebohkan Negara Indonesia, sehingga pemberitaan pada media–media online dan media cetak ini membuat menjadi trending topic dahulunya, kenapa tidak  ? di dalam video tersebut orang nomor satu di republik ini  yang sudah hampir menyelesaikan 2 (dua) periode menjabat bisa tak  di kenal oleh anak – anak di sana,  SBY di Negeri Hutan”, malahan mereka mengatakan  itu adalah Bupati. Bisa di lihat lagi lah video nya. Bagi saya ada hal baik dan positif sekali media tersebut membuat dokumenter ini ya,,, sekaligus mengingat kita sadar bahwa mereka meminta untuk kita dengan  “Turun tangan” bak kata Anies Baswedan yang termasuk tokoh pendiri pada sebuah komunitas/gerakan pendidikan yang tak asing lagi di dengar teliga mahasiswa–mahasiswi yang ada di seluruh pelosok Negeri ini, hampir ratusan ribu mahasiswa/I yang mendengar gerakan ini, yaitu adalah “Indonesia Mengajar”. Tapi tak banyak sekarang para pemuda – pemuda yang peduli. Mundurnya pergerakan mahasiswa/I sebagai agent of change setelah pasca 1998, untuk mahasiswa yang apatis (tidak peduli dengan kegiatan mahasiswa) gelar baru untuk mereka 3  (tiga) K “Kampus, Kantin, Kos” ataupun untuk mahasiswa aktivisnya “mahasiswa proposal”, (bagi yang merasa jangan cepat menutup buku ini, pahami maknanya dulu dengan hati yang tenang dan sabar) hehehe “siapa yang menjabat, itu yang dekat dengan pejabat” (penulis mendengar dari pernyataan beberapa masyarakat yang sudah cukup muak dengan pergerakan mahasiswa proposal) hehehe  dan kita lihat sehinggi tingginya apatis serta individualisme mahasiswa/I pada masa sekarang, “banyak  mahasiswa/I yang merintih tapi, tak banyak yang bergerak”.

Mengutip tulisan dari  Dewan Penasehat Uin Suska Mengajar ini DR.Elvriadi. S.Pi. M.Si ini, dengan judul “Dari Ubermensch Nietzsche ke Insan Cita” Angkatlah diri kamu dan organisasi BEM dan BLM dari kehanyutan massa. Kehanyutan massa itu terlihat dari kondisi kaum mahasiswa hari ini, di era 2010-an, telah kehilangan epi sentrum gerakan dan narasi kebudayaan yang harus dikonstruknya atau dikritisinya. Gerakan intelelektual yang sepi, aktivis-aktivis yang tak berbekal buku berkualitas di tas (kecuali buku doktriner yang menghasilkan pengikut-pengagum buta, atau buku kiat cepat kaya dalam sekelip mata) diperparah dengan pola rekruitmen calon pemimpin mahasiswa dengan budaya massif dan mobilitas kuantitatif gerombolan-isme. Mahasiswa/i yang kreatif dan progresif meluncur ke pusat-pusat konsumerisme Mall-Mall, Bioskop, Game Station, dan rela berkaparan jam 9 pagi karena mengambil paket begadang malam di rental internet.  Kita lihat pesta demokrasi mahasiswa/I saja sudah mulai seperti pesta rakyat pula, setiap kelompok dan Unit kampus sibuk membangun koalisi dan barisan untuk memenangkan kandidat mereka. Serta setelah kemenangan maka terbentuk lah pro–kontra, liat beberapa permasalahan yang terjadi di kampus–kampus, ada yang membakar,merusak gedung mereka sendiri (kasihann), malah yang terjadi antara sesama aktivis melakukan tindakan anarkis (perkelahian) karena pendukung (penulis melihat foto–foto perkelahian pendudukan dengan mirisnya di salah media kampus untuk mahasiswa ini) . Ini menjadi PR bagi semua para punggawa negeri ini, untuk kembali satukan visi dan misi untuk berkontribusi, berpartisipasi aktif baik di lingkungan kampus dan masyarakat, serta menjadi lembaga aspirasi mahasiswa dengan nyata (bukan hanya waktu kampanye saja).

Kembali keduakali nya Mengutip tulisan dari Dewan Penasehat UIN suska mengajar ini, sungguh miris sekali nasib agent of change pada masa sekarang di mana mahasiswa- mahasiswi tahun 2010-an ini mendapat gelar baru menurut beliau. Yaitu “Musim Aktivis Kerumunan”. Jika aktivis 66 melahirkan Orde Baru yang represif anti demokrasi, aktivis 98 menghadirkan pemimpin palsu yang memangsa rakyat, apa jadinya bila aktivis 2010-an yang susunan karakter ketokohannya dibangun di atas kerumunan.  Kerumunanlah yang membuat konflik tak berkesudahan dalam Pemilu Raya di UIN Suska, kru gagasan mewawancara saya tentang PUOK, melemahnya eksistensi BEM-BEM se-Riau berhadapan dengan Muspinda (Musyawarah Pimpinan Daerah) dan rektorat, sehingga tergusurlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM syariah), disegel-lah gedung Al Fiil Fapertapet, berdemolah mahasiswa Tarbiyah menuntut ruang kelas. Kerumunan pulalah yang membuat pelantikan atau sidang paripurna BEM Unri dan UIN harus berpindah-pindah seperti kucing mau beranak.

Tradisi kerumunan dan euphoria demokrasi one man one vote  itu menciptakan budaya pemilihan pemimpin mahasiswa bersandarkan pada kuantitas, bukan kualitas, apalagi kualitas perjuangan membela umat. Yang hadir sebagai calon, dan saya pula diminta menjadi panelis, adalah anak-anak yang tak tau sejarah kebangsaan, sistem pemerintahan Indonesia, tak ada pengalaman mengadvokasi masyarakat, tak baca buku, tak kenal sistem ideologi dunia, tak tau musuh berat siap menunggu diluar sana, tergantung pada orang lain, dan tak punya visi kepemudaan dan program kerja 100 hari bila terpilih kelak. Dan kerumunan itulah yang membuat presiden mahasiswa di Riau ini tidak banyak terlibat dalam isu-isu sentral, kecuali satu isu yang terlalu kencang dihembus, yang lain tidak diketahui sama sekali. Siapa dirinya tidak dikenal di luar kampus dan tak bisa duduk setara dengan Kapolda, Danrem, Gubernur, Kajari yang seharusnya respek pada intelektualitas dan kiprah ketokohan sang presiden mahasiswa. Saya sarankan, bangunlah jiwa lapang, bacalah buku yang banyak dan bermacam ragam. Bacalah biografi tokoh-tokoh besar bangsa dan dunia. Pelajari pesan Tan Malaka, Bung Hatta, pak Natsir, Mandela, Ali Shariati, Muhammad Abduh, Al Afghani untuk membangun watak kritis, berani, inklusif, zuhud, dan independen. Tumbuhkan budaya dialektik, budaya dialog, siap beradu argumen, bertentang strategi taktik, dan manakar intelektualitas dalam karya dan cipta.  

Tapi, penulis bersyukur bisa bergabung melalui UIN Suska Mengajar, sedikit memplagiat dari Gerakan Indonesia Mengajar (kan yang baik di contoh, tak apa lah) walaupun komunitas ini dulunya di pegang dari BEM UIN Suska Riau, setelah tak ada kepentingan di sana akhirnya di biarkan begitu saja. Kembali ke pak Tuo tadi, dengan sekelumit kisah perjalanannya mengajar ke Dusun–Dusun terdalam, dan dengan masih pembahasan sebelum di perlihatkan wajah manis nya beliau di atas,  ulangi lagi bacaannya di atas dan langsung lompat ke sini lagi .… mengenai sepak terjang beliau dan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua, beliau yang hanya seorang masyarakat biasa dan dengan umur yang sudah tua  dengan proses perjuangan yang luar biasa dan tak memikirkan bagaimana kehidupannya (untuk kebutuhan keluarga beliau sudah meninggalkan bekal untuk anak dan istrinya, bukan bermaksud beliau tidak bertanggung jawab kepada keluarga. Tetapi sampai hari ini saya belum melihat keluarga mereka terlantar atau anak–anak beliau yang belum bersekolah).

Pak “Tuo” yang tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, teringat kutipan percakapan dengan beliau “selagi kita bisa makan yah,, jalani lah, yang penting niat kita mulia untuk membantu anak – anak kita bisa membaca dan menulis, karena rezeki ALLAH yang maha mengatur, jelas kita terus berusaha dan berdo’a” kata–kata yang keluar dari bibir beliau, sampai sekarang masih teringat oleh penulis. Sedih, iba dan salut dengan perjuangan beliau, jadwal di berikan oleh pihak PKHS untuk mengajar hanya 2 (dua) minggu dalam sebulan, itu pun sudah termasuk dengan perjalanan menuju ke dusun – dusunnya. Tetapi beliau malah menghabis kan dan menjalankan tugas yang di berikan Program Penyelamatan Harimau Sumatra (PKHS) itu kadang melebihi dari 2 (dua) minggu untuk mengajar dari satu dusun dan itu pun tidak terhitung dari perjalanan beliau yang kadang berjalan kaki beberapa jam, bahkan beberapa di dalam hutan kawasan taman nasional bukit tiga puluh, entah ada entah tidak pikiran beliau mungkin menurut penulis di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) dengan banyaknya binatang buas yang ada dalam kawasan tersebut, dan bukan hanya cerita omong kosong tapi ini bukti, cerita dari masyarakat serta dari salah seorang pengajar muda UIN Suska Mengajar, Reza Fahlepi pernah mengikuti beliau menuju ke dusun sadan waktu itu dengan + 2 (dua) minggu, mereka yang hanya tidur di pohon kayu dan pinggiran sungai gansal dan bukti dokumentasi baik secara foto dan video dari bidang –bidang di komunitas Uin Suska Mengajar jilid II ini kita ada, siap di pertanggung jawabkan dunia dan akhirat.. hehe

Para pembaca juga bisa melihat gambar di bawah ini, yang mana ruangan tersebut  adalah sanggar belajar yang berada di Dusun Datai, Desa Rantau Lansat, Kecamatan Batang Gansal, Kab. Inhu ini (kok, lengkap sekali alamatnya. Supaya para pembaca bisa berkunjung kesana untuk membagikan buku–buku serta bantuan lainnya pada kesempatan yang berbeda) Ini adalah sanggar belajar pertama setelah Sadan, Nunusan, dll.

Gambar : Sanggar Belajar Pertama di Dusun Datai
Sumber : PKHS, 2013
Tokoh yang patut mendapat penghargaan menurut kami dari UIN Suska Mengajar, seharusnya beliau sudah sampai ke Jakarta sana, karena sudah sepatutnya menjadi inspirasi bagi kita semua yang ada di pelosok negeri, dan ini juga impian kami untuk memberikan hadiah kepada pak tuo “Taktung” dan para pembaca, untuk bisa membawa beliau sampai duduk di salah satu televisi nasional ataupun program unggulan seperti Kick Andy, Eagle Award.  Dengan tujuan membakar semangat para pemuda – pemuda yang ada di provinsi riau ini. (bukan bermaksud untuk menaikkan popularitas atau eksistensi beliau tapi, ini motivasi dan inspirasi. Apakah hari ini kita dengar pemuda–pemuda yang memiliki perjuangan seperti beliau ?? ) hasrat dan keinginan terus bergulir dari kami pengajar muda  hingga berakhirnya pelaksanaan pengabdian UIN suska mengajar, sampai sekarang masih menjadi keinginan besar kami untuk menghormati dan memberikan apresiasi setinggi – tingginya kepada beliau.

Harusnya yang  melakukan seperti ini adalah anak – anak muda (pemuda) lebih di harapkan para mahasiswa/I (padahal tak bedanya kalau sudah di kampung mereka masing-masing keadaan yang ada) hehehe,, bisa kita ingat lagi kajian dulu seperti kalau kita ingat kisah para zaman nabi dan kemerdekaan di Republik ini. Sejarah mencatat pemuda lah yang memberikan kemajuan dari berbagai peradaban. Sebut saja di  zaman  Nabi Muhammad SAW, beliau di keliling oleh para sahabat–sahabat muda, Abu Bakar, Usman Bin Affan, Bilal Bin Rabah, Ali Bin Abi Thalib, dll untuk mensyiarkan islam demi menuju kemenangan dakwah serta mengajar untuk kebenaran yang kita tahu zaman sebelum Rasullullah SAW, yaitu zaman jahiliyah. Dimana semua kejadian–kejadian yang tiada baiknya terjadi pada waktu itu.  Kita kembali juga Untuk Republik yang kita cintai ini mari ingat pelajaran sejarah waktu Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) lagi bangsa ini dulunya di tangan para pemuda–pemuda, paling terpenting Sumpah pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan, kalau tidak ada para pemuda untuk memaksakan para generasi tua untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, mungkin hari ini kita belum tahu memperingatinya pada tanggal berapa ? dan kemungkinan besar tidak terjadi pada tanggal 17 agustus 1945 !! kita ingat lagi Ir. Soekarno di paksa dan di bawa ke rumah salah seorang tokoh pihak penjajah yang mendukung kemerdekaan republik ini, semangat para pejuang dahulu sangat membanggakan dan patut di abadikan sebagai pahlawan, mereka bukan menanyakan “apa yang di berikan Negara kepada saya” tetapi yang mereka pikirkan “bagaimana nasib bangsa ini dari rakyat (generasi) selanjutnya”, dengan pemikiran–pemikiran yang luar biasa dan matang akhirnya mereka menjadikan bangsa ini seperti sekarang ini, yang bangsa dari NOL bisa maju walaupun akhir–akhir ini KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotalisme) sudah  merajalalela dan KPK mulai menangkap/menguak satu per satu dari penjahat berjas  hitam rakyat ini (tikus – tikus kantor ini). Sangat banyak pejuang dahulu yang tidak mendapatkan dana tunjangan atau pensiunan. Menyedihkan bukan setiap tahun kita lihat di taman pahlawan dan pemakaman lainnya, pihak keluarga ziarah kepada para pejuang – pejuang dahulu. Mereka hanya bisa berdoa dan bersyukur bahwa pendahulu mereka yang berjuang untuk membuat bangsa ini merdeka. (renungkanlah kepada para generasi muda)

Mengutip sedikit  lagi (atau terakhirnya dari buku ini) dari tulisan Bapak Dr.Elviriadi,S.Pi. M.Si (Dosen UIN Suska serta Dewan Penasehat UIN Suska Mengajar) dengan judul “Di Jajah bangsa Sendiri” Saya sendiri menyaksikan kawan-kawan aktivis 98 yang dulu teriak dan mogok makan, telah berubah menjadi borjuis baru yang “memakan” rakyat. Dulu mengkritik Golkar dan Orde Baru, sekarang menjadi aktivis Golkar, jadi birokrat muda, pengusaha, dosen, wartawan, komisioner lembaga negara, terus  “bermain cantik” demi survival di panggung kehidupan menuju kemakmuran. Dari hari ke hari harus lebih mapan, mobil bertambah, rumah gemerlap dan deposito berlipat-lipat. Soal “rakyat” telah terjabarkan menjadi  anak cucu, cicit, KMPI (Keponakan Menantu Paman Ipar), kelompok dan paling tinggi kader atau anggota partainya. Kaum miskin kota, karet-padi sektor pertanian tradisional yang terbengkalai, kaum terlemahkan, anak yatim, buruh nelayan tinggal cerita masa lalu.  Saya saja dibilang kerabat sebagai Doktor Jadul (jaman dulu), karena tak memiliki mobil. Ukuran kesuksesan bukan lagi dari karya, pengabdian pada agama dan nilai-nilai perjuangan sosial. Yang terpenting adalah harta benda. Bagitu lah “Tuhan” baru karya umat abad ini. 

            Kembali dengan Tokoh yang di pangil Pak Tuo atau pak Taktung ini yang di usianya sudah tua tetapi masih saja tetap mengabdi ke Dusun–dusun yang di sana, jarak yang di tempuh kadang bisa berjam, satu harian apalagi menuju dusun datai yang bisa di tempuh  satu minggu dengan berjalan kaki menggunakan jalan darat,  dari Dusun Lemang (pusat desa). Kecuali menggunakan jalur air yang di tempuh 1 (satu) hari menggunakan speedboat yang biaya sewanya sampai Rp.100.000 – Rp.2.000.000-, untuk sekali bepergian, dan menjadikan  harga ini sangat mahal bagi pak taktung (tapi beliau bisa menumpang jika perahu mesin masih kosong di dalam perjalanan), apalagi untuk kapasistas kami para pengajar muda (sudah cukup untuk makan di posko dua minggu dengan budget sebanyak itu).. hehehe, tetapi rekan – rekan pengajar muda sudah ada juga dua orang yang sampai ke dusun datai dengan menumpang pihak PKHS  dan TNBT yang waktu melakukan program pengobatan gratis. Mengingat biaya yang cukup tinggi tersebut….
            Teringat nasihat beliau yang masih sampai sekarang dokumentasinya masih ada, “Seorang Guru Jadilah seorang guru yang pejalan kaki. Jadi, sehingga kita dapat melihat masyarakat kecil, besar, miskin dan kaya yang sepanjang kita lewati  dan kita bisa bertegur sapa dengan santunnya, beda dengan jalan yang menggunakan kendaraan. Laju, memang sampai di tujuan sama dengan pejalan kaki tadi juga sampai di tujuan. Tapi, terkadang yang menggunakan kendaraan sanking lajunya, sehingga masyarakat sepanjang jalan yang kita lewati tadi menyumpah serapah dengan debu-debu yang kita tinggalkan dengan berkendaraan tadi, sehingga kita tidak dapat memperhatikan sekililingnya’ itulah yang di ibaratkan oleh beliau dalam renungannya atau perjalanannya di dalam rimba menuju ke sekolah.        


*
Kembali ke “anak cicak”, sepertinya cerita ini jadi melebar kalau bahas tokoh yang satu tadi, dan masih ada tokoh yang lain menurut kami sama luar biasanya dengan pak tuo, yaitu pak M.Nasir (Mantan Kepala Desa), kita bahas pak M.Nasir dulu biar lebih mengkerucut sehingga topik serta lirik lagu “anak cicak” nya diselesaikan..hehehe

Mohon bersabar para pembaca…tetapi tetap fokus karena supaya bisa terinspirasi dan termotivasi, ini sangat berpengaruh dari beberapa kata perkata, bait – bait serta paragraph selanjutnya.

Pendidikan Urusan siapa ? Urusan kita bersama, karena mendidik adalah kewajiban setiap orang yang terdidik.


Tokoh yang Kedua

Bapak M. Nasir (Mantan Kepala Desa Rantau Lansat)
Lingkungan dan Kepemimpinan

            Kalau yang satu ini biasa di panggil oleh masyarakat dengan panggilan pak “Mantan”, bukan mantan kekasih atau pun lainnya tetapi Mantan Kepala Desa.. hehehe, Beliau ini selain sebagai abdi masyarakat tetapi keahlian beliau di bidang seni juga menjadi acungan jempol, tidak hanya melayani  masyarakat tetapi beliau juga aktif di bidang kerajinan tangan seperti menganyam dan membuat pernak–pernik dari rotan dan bahan –bahan lainnya, beliau juga mendirikan Balai Kelompok Belajar (SKB) yang tak jauh dari rumahnya, tempat yang sederhana tapi, penuh makna, beliau yang terus mengajak para generasi–generasi  muda di sana untuk bisa membuat kesenian, kerajinan dan alat –alat tradisional yang bukan hanya sebagai hobi tapi untuk di jual sampai ke luar, dan bahkan ada beberapa produksi yang sudah menembus pasar di Jambi. Hasil buatan tangan beliau dan anak–anak muda disana seperti ayunan bayi, keranjang,kursi goyang, dll. Balai Kelompok Belajar (SKB) ini menjadikan sebagai tempat usaha sampingan mereka selain bertani dan berkebun.

Setiap kali kami berkunjung ke sana, tak kan pernah lepas untuk singgah ke rumah beliau untuk silaturahmi dan belajar, layaknya sudah kami anggap seperti ayah kandung sendiri di Desa Rantau Lansat, walaupun penulis putra asli kelahiran Kabupaten Rokan Hulu, banyak hal yang kami pelajari dari beliau mulai seni, kepemimpinan, hukum, adat serta di ajarkan tentang bagaimana menjaga alam (lingkungan). Tak ada pengaruh kan walaupun penulis dengan latar belakang seorang mahasiswa Teknik  di UIN Suska Riau (setiap hari berhubungan dengan rumus,grafik,table,dll). Tetapi dari beliau kami terinspirasi. Pada suatu siang beliau singgah ke posko dengan sedikit keperluan yang tak perlu penulis sampaikan kepada para pembaca,  lantas bercerita sambil memperlihatkan beberapa video – video hasil dari  beliau yang  memainkan alat musik gambus dengan bait –bait nasihat yang menjadi ciri khas Desa Rantau Lansat, beliau juga bercerita tentang hukum adat terutama menjaga sungai Batang Gansal supaya tidak rusak dan tercemar dengan memberikan beberapa sanksi tegas kepada para pelaku yang melakukan, seperti menyetrum, meracuni ikan,dll.
 
Gambar : “Pak Mantan” ketika diwawancarai oleh pengajar muda Uin Suska Mengajar
Sumber : Dok, Uin Suska Mengajar

Jika ketahuan dari para pelaku. Maka, ada beberapa hukuman yang harus dilunasi oleh pelaku dengan membayar denda berupa uang dan barang dengan jumlah yang cukup besar sehingga memberikan efek jera kepada pelaku,dan sampai saat ini masih berlaku dengan dibuktikan masih asrinya sungai batang gansal dan masih banyak nya hasil tembakan warga yang mencari ikan di sungai batang gansal tersebut. Ada beberapa hukum dan pantangan adat yang tertera dalam surat peraturan Kepala Desa Rantau Lansat dari semasa beliau menjabat sebagai kepala desa.dan ini seharusnya menjadi contoh bagi Kepala Desa dan masyarakat lainnya di republic ini untuk meniru salah satu aturan dengan sanksi tegas serta tindakan langsung bukan hanya sekedar aturan yang untuk di langgar.

            Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di posko dengan beberapa pembahasan tentang miniatur Desa Rantau Lansat, sempat penulis tersentak mendengar beliau mendengar dengan kata “Hablum minal a”lam”, “Tuhan Menciptakan Manusia, sebagai khalifah di muka bumi ini” pasalnya ketika waktu itu kami membahas tentang alam, lantas beliau mengatakan “Tuhan menciptakan alam ini supaya kita menjaganya, kita khalifah di muka bumi ini”, khalifah tidak hanya definisi sebagai pemimpin tetapi untuk member contoh bagi lainnya, yang jelas : Pertama “Hablum minalllah” itu bagaimana kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT, dan Allah SWT yang maha mengetahui, maha melihat, serta maha segala–segalanya, selagi kita masih melaksanakan apa yang diperintahkanNYA dan menjauhi apa yang menjadi laranganNYA. Kedua “Hablum minannas” bagaimana hubungan kita dengan manusia, salah satu kata–kata hadist/bijak yang sering kita dengar “sebaik – baik nya manusia yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain”  dan pada hari ini, siang ini, sore ini, malam ini,  kita tetap berada di sini. Berkumpul, berbagi ilmu, Kita memberikan manfaat untuk orang lain. Nahh.. yang ketiga hal baru di dengar “Hablumminal a’lam” bagaimana hubungan atau cara kita menjaga alam ini, karena kita khalifah (pemimpin) di bumi Allah SWT ini, salah satunya dengan memberikan hukuman bagi oknum yang merusak alam, bukan hanya memberikan aturan,kepemimpinan dan hukum tetapi kita juga sebagai orator, tokoh penggerak untuk menjaga alam ataupun lingkungan tersebut, salah satunya memberikan kebijakan–kebijakan kepada masyarakat tentang penggunaan hutan yang ada di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ini serta pemahaman baik yang bersifat tidak menggunakan lahan dengan sesuka hati masyarakat, “kalau kita buka hutan, yaaa.. kita harus ganti kembali  dengan hutan ataupun jadikan kembali seperti hutan jika kita tidak mau mengelolanya, dan walaupun di gunakan tetapi harus konsepnya seperti hutan”. Beliau juga memberikan contoh salah satunya di Desa tetangga mereka yang membuka salah satu kegiatan pengeboran di bidang pertambangan, salah satu perusahaan tambang batu bara yang terbesar di Riau ini, hasilnya sekarang sungai Batang Gansal yang mengalir di desa mereka sudah tercemar akibat pengeboran oleh perusahaan tersebut yang hasilnya di jual keluar negeri, walaupun desa mereka (sianbul) mendapat bayaran (uang) dalam jumlah cukup besar tetapi sekarang mereka baru merasakan ruginya, dan beberapa contoh lainnya yaitu membuka lahan kebun sawit yang kita tau perkebunan kelapa sawit memberikan dampak yang signifikan, mulai dari pohonnya yang banyak menguras air di dalam tanah serta efek lainnya kita memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan suatu usaha di bidang pertanian lainnya. Serta dampak yang paling tragis adalah pembakaran lahan, baru saja kita liat pemberitaan bahwasanya “Riau tak layak huni” dengan asap yang tingkat berbahaya di rasakan masyarakat Riau, bahkan sampai Negara tetangga, yang paling berbahaya bagi kesehatan, berapa banyak yang kita dengar di berita – berita local yang terjangkit penyakit ISPA pasca kebakaran terbesar di Riau ini beberapa bulan lalu. Bisa di lihat berita pada portal resmi Pemprov Riau. www.riau.go.id  edisi : kamis,20 Juli 2014, dengan judul berita “Polda Riau Sudah Tetapkan 189 Tersangka Kejahatan Kehutanan”. Ini adalah kejahatan lingkungan terbaru, belum terjadi sekitar bulan maret – mei 2014 sebelumnya, ini yang hanya di tetapkan oleh Polda Riau, sementara masih ada yang di polres kabupaten masing–masing di Provinsi Riau.

Ketika berkunjung beberapa waktu lalu, di mana pasca Riau tak Layak huni dulu,  saya merasakan dan kemudian beliau bercerita tentang Kita sendiri hampir tidak merasakan dampak asap tersebut karena kita masih menjaga hutan, di mana  pada kabupaten – kabupaten yang ada di Riau ini sibuk untuk memberikan peringatan kepada seluruh masyarakat untuk mewaspadai gejala asap ini tapi, yang kita rasakan biasa – biasa saja. Salah satunya karena masih sangat banyaknya pepohonan rimbun serta alam yang masih asri sehingga asap – asap yang sampai ke desa kita di hisap ataupun di serap oleh pepohonan pepohonan di kawasan hutan ini, kita tahu fungsi alam itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Apalagi provinsi Riau terkenal sebagai area jantung dunia di bidang alam (Kabupaten Siak  dalam kawasan Wisata alam Danau Zamrud, Kabupaten Pelalawan di  Taman Nasional Taseso Nilo, Kabupaten Rokan Hulu pada Area Konservasi Bukit Suligi, dll).
            Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, tidak mesti menanam perkebunan kelapa sawit,dll. Tetapi perkebunan seperti karet, rotan, padi, pisang, durian, duku serta gaharu dan kulim serta beberapa tanaman akar (si kancil,pasak bumi),dll. Kita sama-sama sudah mengetahui dengan melakukan pembukaan lahan perkebunan karet kita juga bisa menanam beberapa tumbuhan lainnya dan itu tidak mengikat dengan  pohon karet tersebut. Memang perkebunan karet tidak menghasilkan begitu banyak uang tetapi alam kita terjaga dan dengan bertambahnya tanaman pendukung bisa menambah penghasilan tergantung bagaimana kita mengelolanya dengan baik. Intinya kalau kita mau berusaha pasti ada jalannya.

            Hal ini bukan hanya di buktikan dengan omongan saja tetapi di buktikan dengan beliau sebagai tokoh utama dan beberapa masyarakat, pemuda yang sadar dengan mulai menanam  serta membuat pembibitan pada jenis tanaman  gaharu, duku, durian,dll yang hasil bantuan dari pihak – pihak pemerintah dan swasta. Bisa di lihat ketika kita berkunjung ke rumah beliau apa yang menjadi penulis ceritakan pada buku ini. Ingat dokumentasi ini bukan hanya kepentingan buku ini, buku ini di buat setelah kegiatan–kegiatan UIN Suska mengajar di laksanakan. Jadi tidak ada unsur kesengajaan pada dokumentasi.

Gambar : “Pak Mantan” membuat pembibitan kulim, gaharu,durian, dll
Sumber : UIN Suska Mengajar
“Kita Khalifah di Muka Bumi ini, Maka berilah kebaikan dan jagalah. Tanggung jawab kita sebagai manusia”

            Inilah yang penulis  acungin jempol kepada pak “mantan”, teringat salah satu cerita beliau yang sampai sekarang yang tidak dilupakan beliau dan menjadi bahan pelajaran berharga bagi beliau “Kalau saya ingin memperkaya diri sendiri, saya sudah di tawari 1 (satu) buah mobil avanza baru dan cash langsung dari salah satu pengusaha yang waktu itu beliau di undang ke Pekanbaru untuk menjumpainya dengan misi untuk membuka perkebunan dengan system koperasi kepada masyarakat, pengusaha tersebut mengiimingi akan mensejahterakan masyarakat Rantau Lansat, Lantas beliau menjawab “Masyarakat kami sudah sejahtera dengan alam ini pak” tegas beliau sambil menolak tawaran dari pengusaha tersebut dengan baiknya. Beliau juga menyampaikan keinginannya yang bertujuan untuk mengajak kita semuanya  para pembaca untuk peduli dengan alam ini nantinya. Hasil ini untuk anak cucu kita nantinya, saya memikirkan 5 tahun–bahkan sampai puluhan tahun nantinya anak– anak kita bisa menikmati hasil jerih payah yang kita lakukan sekarang, memang tidak memberikan hasil yang cepat bagi saya, tetapi untuk anak–anak saya, cucu saya, serta generasi jauh di bawah nantinya, dan ini di mulai dari tindakan saya sendiri. Kita juga mengetahui dampak jangka pendek dan panjang dengan membuka perkebunan ini, walaupun hasilnya cukup menggiurkan tapi,pikirkan dampaknya.
Pertama berapa kerugian BNPB (Badan Nasional Penganggulangan Bencana) jika terjadi kebakaran asap, Milyaran Rupiah yang keluar untuk setiap kali membuat teknologi modifikasi cuaca ?  
Kedua : Berapa banyak  korban yang terkena ISPA tersebut dan akankah ini berkelanjutan ?.
Ketiga : Tanaman ini mempunyai penyerapan kadar air yang tinggi ? bayangkan, jika beberapa tahun lagi kita akan mengalami kekeringan air, kelak kita akan membeli air untuk mencukupi keperluan sehari – hari ?
Keempat : Penggunaan pupuk kimia akan jelas merusak kesuburan tanah, butuh beberapa tahun untuk bisa mengembalikan kesuburan ini kembali dari area pupuk kimia tersebut, tanaman ini juga memiliki ketergantungan dalam perawatan. Mari kita jaga dan pikirkan kembali baik dan buruknya. Belajar lah dari apa yang telah ada ! 
Kelima : Silahkan para pembaca juga menambahkannya ?
           
Kalau berbicara keuntungan mungkin secara ekonomi meningkat bagi pengusaha dan pemilik kebun yang besar, biasa dikenal dengan toke. Pemilik kebun masyarakat hanya bisa menukik tiap minggunya dengan harga TBS (Tandan Buah Segar) yang harganya sering naik turun tanpa karuan, sesekali masyarakat mulai ketakutan dengan harga sawit yang turun naik ini, kenapa tidak dengan biaya perawatan cukup tinggi, belum lagi dengan hasil yang trek panennya, sehingga kadang bisa membuat pemilik kebun kewalahan dan hanya bisa menerima saja. Untuk mendapatkan harga yang tinggi hanya di miliki oleh Perusahaan-perusahaan besar. Sementara, untuk pedagang kecil sangat sulit di karenakan alas an yang selalu di dengan adalah kualitas tandan buah sega tidak memenuhi ketentuan dalam industry perkebunan, padahal pemilik kebun ini dulunya membeli bibit dari pengusaha perkebunan kelapa sawit dan malahan sampai membeli bibit dari negeri tetangga pula.

Saya mengakui dengan hormat dan bangga bisa berjumpa dengan seorang tokoh masyarakat yang memiliki pemikiran baik ini, menurut kami kepedulian akan lingkungan. Beliau bukan memikirkan isi perutnya saja tapi, memikirkan untuk masa yang akan datang. Dan ini patut menjadi contoh kita semuanya. Mungkin dari ribuan masyarakat di Provinsi Riau ini, beliau yang baru penulis ketahui dan berjumpa langsung dengan pemikiran seperti ini.. subhanallah….

            Walaupun sekarang realitanya sudah sedikit mulai berubah dengan kurang pengawasan dari berbagai pihak, masyarakat mulai terkontakminasi dengan banyaknya datang warga dari luar, membawa barang–barang mewah ataupun bersifat sekunder akhirnya masyarakat Suku Talang Mamak Batang Gansal (mengikuti dan berkeinginan memiliki barang–barang seperti pendatang yang membawa sedikit perubahan–perubahan. Ntah baik ntah baik, sebut saja seperti sepeda motor, kita tahu harga sepeda motor itu mahal dengan harga Jutaan bahkan Puluh jutaan, sementara kita bisa penghasilan mereka yang pas – pasan dari penjualan karet, jernang serta tanaman lainnya yang akhirnya mereka sudah memulai menjual lahan – lahan ke pihak luar dengan harga yang murah menurut penulis sendiri di bandingkan dengan tempat tinggal penulis yang sudah tak ada lagi hutan, tanah wilayat (adat) sudah mulai di buka dan di gunakan (penulis ingat di waktu kecil, betapa banyak di kala musim buah–buahan yang di tanah adat tersebut. Menjadi kebebasan bagi anak–anak cucunya mengambil hasil yang ada dari tanah adat tersebut, hanya untuk dikonsumsi,bukan untuk di jual tapi sekang sudah berubah menjadi perkebunan). Misalnya seperti di Dusun Datai yang sudah banyak menjual kepada warga di Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Penyakit ini sudah mulai meracuni masyarakat di Dusun Datai, di  tambah lagi perbatasan yang belum jelas antara Desa Rantau Lansat dan Kecamatan Keritang, Inhil ini mengakibatkan kontroversi hingga sampai saat ini, bukan hanya efeknya kesana tapi, dengan pihak Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan PKHS juga beberapa kali terjadi perselisihan walapun dengan konteks yang sedikit berbeda tetapi tetap permasalahan lahan.

            Mengingat permasalahan lahan atau agraria yang melanda di pelosok Negeri ini, dan ini juga penulis alami di tempat tinggal sekarang dengan beberapa penguasa dan perusahaan antah berantah ini. Mungkin saja kesalahan ini yang di manfaatkan oleh para penguasa dan pengusaha,  kita tahu masyarakat mempunyai kesalahan yaitu di dalam administrasi, sehingga seperti jalan yang terang bagi para perusahaan dan penguasa untuk menguasai. Kenapa tidak masyarakat yang hidup bersama dengan alam dan kurang merasakan perlunya untuk menggunakan Surat Keterangan Ganti Rugi, Surat Keterangan Jual Beli atau untuk mengurus kepemilikan tanah serta yang lebih kuat yaitu sertifikat tanah. Maka dari itu para pembaca yang di daerah mari bersama kita berikan informasi kepada orang tua, sanak famili yang berada di pedesaan untuk bisa mengurus berhubung kita berada di negara hukum. Kalau kita ingat lagi orang tua untuk membeli sebidang tanah hanya dengan saksi mata (sepadan) dan hanya sedikit bukti  transaksi (kwitansi), berhubung ada yang kepemilikan tanah tersebut masih dalam keluarga ataupun masih luas hutannya sehingga masyarakat bisa untuk membuka lahan pertanian lainnya. Salah satunya menjadi permasalahan ini di sebabkan kelalaian masyarakat juga menurut saya. Masyarakat kurang memahami pentingnya surat kepemilikan tersebut, sementara para pemodal dan penguasa mengetahui kelemahan masyarakat tersebut dan lajur hukum serta birokrasinya.

Kita berharap dengan buku ini bisa menjadi acuan nantinya, bukan hanya sebagai bacaan tapi, ini hasil permintaan kita untuk menjaga alam ini. “baca, putuskan, aksi” penulis berharap dengan didistribusikan buku ini ke sana dan bisa sedikit menyadarkan masyarakat di Desa Rantau Lansat dan seluruh masyarakat Indonesia. Aminn….

            Sedikit, bukan mengingat kesalahan atau pun kegagalan, banyak malapetaka yang terjadi akibat pembukaan perkebunan, ingat saja konflik Pulau Padang, kabupaten kepulauan Meranti, Desa Pungkat, Inhil yang terbaru Agustus 2014 ini, dll dan hampir seluruh desa/kecamatan yang ada di Republik ini terkait masalah lahan. Di situs Riau.Go.id  Jadi ini sebagai ajaran bagi kita bersama. Saya sendiri tidak melarang kepada para pembaca untuk membuka perkebunan, tapi lihat manfaat bagi manusia dan alamnya, Liat saja kalau kita berjalan menelurusi pelosok di Provinsi Riau ini khususnya, rata- rata di isi dengan perkebunan tersebut dan ini yang membuat kita miris, kepemilikannya sebagian besar di kuasai oleh asing. Seperti kata kiasan “berladang di pungguk sendiri”, dulu kita yang punya lahan dan sekarang kita bekerja sebagai karyawan di lahan tersebut.

Penat juga ini penulis mengetik dan memikirkannya, sampai tak terasa jari ini seperti mengetik sendiri.. (lebay).. walaupun bukan hanya sebuah pemikiran tapi renungan untuk bisa bersama. Dari buku kita bisa belajar bersama menjaga alam ini sehingga tidak terjadi bencana,malapateka. Kita tau bahwa alam adalah hakim yang tidak bisa di jual atau tawarkan dengan kepentingan, menurut penulis sih…
“alam akan memberikan manfaat, jika kita bisa menjaganya” dan “alam bisa murka jika kita merusaknya”, dan alam akan memprosesnya dengan waktu, tunggu saja tanggal mainnya, dan sekarang kita sudah merasakan sedikit dampaknya. Bagai hantu dalam kegelapan dan melangkah lah.  “Kalau kita tidak bisa memberikan cahaya pada kegelapan, jangan salahkan kenapa bisa gelap”. (Tutur penulis dengan agak capek dan penat ingin rasanya istirahat sejenak sambil menunggu waktu sahur).


“Tua mengayomi, muda menginspirasi dan berkarya, anak – anak lah bibitnya”.


**
            Selesai sudah sedikit menceritakan dua tokoh yang  luar biasa di Dusun Lemang, Desa Rantau Lansat ini. Masih ada satu lagi tokoh seni yang di kenal, beliau adalah sahabat pak”tuo” dan pak “mantan” , beliau juga pernah mendapat penghargaan dari Pemkab Kabupaten Indragiri Hulu di bidang seni music tradisional. Ini sedikit promo..hehehehe

Gambar : Sahabat Pak “tuo” dan pak “mantan”.
Beliau bersama anaknya memainkan alat tradisional batang gansal
(Sumber : Dok, Uin Suska Mengajar)
 
            Beliau sengaja penulis tak ceritakan, berhubung juga baru kenal dengan beliau beberapa waktu lalu dan beliau yang berdomisili bukan di Desa Rantau Lansat tetapi masih di dalam Kecamatan Batang gansal, yaitu Desa Sianbul. Hehehehe

Tapi, beliau sama perjuangannya untuk mempertahankan budaya atau pun kesenian tradisional mereka. Bukti sederhana dari keluarga beliau sendiri, liat saja pada gambar, beliau memainkan beserta dengan anaknya. Dan ada kegiatan beberapa waktu lalu beliau memainkan bersama putranya di hadapan Bupati Indragiri Hulu serta pejabat lainnya hadir pada acara tersebut. “Alhamdulillah setelah selesai nampil,dapat juga uang di berikan oleh bapak Bupati Indragiri Hulu untuk belanja adik–adik kamu ini” Katanya beliau sambil memainkan kecapi ketika saya, reza, bg malik dan wak julor berkunjung ke rumah beliau pada waktu tengah malam, hari senen tanggal 07 Juli 2014 tersebut.

Bagi para pembaca yang mungkin tak percaya, bisa datang langsung ke rumah beliau untuk melihat, mendengar bahkan membeli jika para pembaca mau atau pun bisa menggunakannnya. Bukan promosi tapi, sedikit menjelaskan secara detail dan terperinci… eeaaakkk

Perlu di ingatkan lagi, saya tidak bisa menceritakan profile beliau.. hehehe tapi, hanya sedikit menulis pengalaman bersama beliau saja, mendengar merdu kecapi dan lirik – lirik nasehatnya membuat penulis yakin bahwa beliau “Sang Maestro Kecapi of Batang Gansal”, tapi dalam melantunkan lagu malam itu tak bisa di lupakan pembukaannya lagu “anak cicak” versi desa usul. sempat berbalas lirik dengan rekan kami, Reza fahlepy dengan maksud kami ingin silaturahmi dan belajar kepada beliau, dan beliau membalas dengan lirik tersebut dengan tujuan ingin memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar dengan keadaan yang apa adanya. Sementara penulis di sibukkan dengan merekam dan membuat dokumentasi saja. Hadohh…


**
Sudah sampai kemana – mana pula topic “anak cicak” yang tak ada habisnya untuk di ceritakan, ada beberapa lagu yang menjadi popular di sana. Berikut lirik lagu “anak cicak”. Kita selesaikan dulu lagu “anak cicak”nya, berikut lirik dari lagu yang saya ketahui.
Anak cicak,,,,
di bawah bantal… 2x
Ontah bojariiii,,,,
ontah tidak….
kalau tepijak di batang gansal…
ontah nak balik ontah tidak…

hatilah  hatii,,  memilih kawan,,, 2 x
jangan lah sampai jatuh ke jurang..

hati lah hati bekirim surat.. 2 x
jangan lah sampai tau di orang …


kalau ada sumur di ladang,,
kalau lah sumur di ladang,,,
boleh kita menumpang mandi…

kalau ada umur yang panjang
kalau lah umur yang panjang,,
boleh lah kita berjumpa lagi…

Masih banyak beberapa lagu nasehat–nasehat yang ada di Desa Rantau Lansat ini, alangkah indah dan merdunya jika para pembaca juga menghayati dan menikmati lagu serta merasakan alunan music tradisional di sana nantinya. Bukan saya pelit ataupun tidak memberikan kisah dengan serinci–rincinya bukan tetapi juga mengajak para pembaca juga langsung berpartisipasi melestarikan budaya yang ada di bumi melayu ini. Tidak hanya dengan membaca saja (bisa saja para pembaca meminta, belajar, membeli alat–alat tradisional ini di desa rantau lansat. Tidak terlalu mahal kok. Hehehe)
Gambar : pak “tuo” bersama gambus kesayangannya
Sumber : Dok, Uin Suska mengajar

Gambar : “Pak Mantan” sedikit bermain dengan kecapi waktu itu
Sumber : Dok,Uin Suska Mengajar
           
Kalau mau tahu kehebatan pak “tuo” memainkan kecapi dan gambus silahkan datang ke rumah beliau, jangan lupa bawa makanan dan minuman yah (hehhee yang benar saja. Cuma becanda penulis kok), beliau siap menerima kapanpun ! kecuali kalau beliau tidak naik (mengajar ke dusun – dusun). Tapi kalau tidak beliau di pusat desa lah.

            Kepada para pembaca di harap bersabar, bukan dengan lagu “anak cicak” penutup buku ini, masih lama untuk menjelang bagi para pembaca selesai tapi, masih baru 2 topik. Beberapa topic yang hangat masih penulis uraikan selanjutnya. Tapi, untuk pembahasan “anak cicak” ini cukup sudah. Mungkin para pembaca sudah sangat mengerti dengan topic kenapa penulis membuat tema topic kedua ini “anak cicak” .

Music bisa jadi inspirasi, dan seni menjadi keindahan pribadi untuk hal layak. Wajib di pertahankan….
Catatan kaki :

Kita berharap dengan buku ini bisa menjadi acuan  nantinya, bukan hanya sebagai bacaan tapi, ini hasil permintaan kita untuk menjaga alam ini. berharap dengan kita distribusikan buku ini ke sana dan bisa  menyadarkan masyarakat di Desa Rantau Lansat, serta generasi masa yang akan datang dan seluruh masyarakat Indonesia. Aminn….

 










                        Gambar : Pak taktung bersama Reza (USM) di Tebat
Gambar : Diskusi bersama ‘Pak Mantan’, Polhut, USM dan Antroplogi Unimed
Gambar : Balai Kelompok Belajar di Dusun Lemang
 

0 comments:

Post a Comment